PMII Komisariat Unisda Lamongan

Commissariat Board Indonesian Moslem Students Movement, Sekretariat : Jl.Airlangga Keduwul, Sukodadi, Lamongan 62262 (Depan SMK PGRI Sukodadi ? Selatan Masjid Sabilillah) Contact Person : 0856 5530 8080/ 0857 3040 4374


KODE PPC ANDA

NILAI DASAR PERGERAKAN (NDP)
PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA
Nilai Dasar Pergerakan (NDP); Antara Dialektika dan Integrasi Gerakan
Kita mungkin masih ingat dengan sabda Nabi Muhammad SAW yang kira-kira artinya: “Perbedaan di antara umatku adalah Rahmat”, perbedaan yang kiranya difahami sebagai sebuah ragam pemikiran yang akan terjadi nanti setelah beliau wafat. Mungkin kita juga masih mengingat bahwa suatu saat beliau pernah bersabda ”Kalian semua lebih mengerti urusan kalian”, sebuah stateman yang keluar karena kecerobohan dirinya yang menyuruh seorang petani kurma untuk menyilangkan pohonnya sehingga hasil yang didapatkan tidak sebagus yang diinginkan.
Dengan fenomena seperti itu, tentunya Islam sudah menjadi agama yang berkembang dengan beragam pemikiran baik dalam hal profan atau sakral. Perkembangan peradaban yang tiada tara dan menjadi sebuah aset penting bagi generasi berikutnya. Tetapi, mengapa justru saat ini umat Islam mengalami gradasi pengetahuan. Kebodohan dan pembodohan terus merajalela sehingga Islam kini identik sebagai agama orang-orang yang bodoh dan miskin.
Zaman renaissance di barat, tepatnya kemunculan langit kebodohan yang kelam itu. Masa dimana justru orang-orang barat yang notabene beragama Kristen terlepas dari kejamnya belenggu agamawan yang menguras habis seluruh pemikiran brilian di zaman abad pertengahan. Sebut saja, Nicolaus Copernicus yang harus mati dipenggal karena menentang dogmatisme agama saat itu yang mengatakan tentang bumi sebagai pusat alam semesta dan yang lain berputar mengitari bumi serta mengatkan bahwa bumi ini berbentuk datar sehingga bumi ini jika ditelusuri maka pasti ditemukan ujungnya. Seperti itulah gambaran umat Islam saat ini. Gambaran yang sudah terjadi ratusan tahun silam di barat. Fenomena seperti itu datang menyerang umat Islam saat ini dan muncul berawal dari buku karya Al-Ghazali yang berjudul Tahafudh al-Falasifah, buku yang mengupas habis seluruh pemikirannya yang skeptis terhadap pemikiran filsafat yang notabenenya memang spekulatif, walaupun banyak filsuf lain menduga ia telah kehilangan konsistensi pemikiran karena sebelumnya selama dua tahun ia belajar filsafat dan menulis buku berjudul Al-Maqasid al-Falasifah yang justru memuji pemikiran filsafat yang kritis.
Sejak itulah umat Islam menganggap bahwa pintu ijtihad telah tertutup dan pemikiran ulama zaman dahulu adalah hal yang final dan tidak perlu ditelaah kembali. Pengkultusan terhadap seseorang membuat semua kejayaan masa lalu musnah tak tersisa, yang ada hanyalah kebodohan dan pembodohan massal dan tidak tahu kapan berakhirnya.
Fenomena di atas cukup sebagai pembelajaran bagi kita, generasi muda umat Islam, agar tidak terjadi lagi untuk ke sekian kalinya. Cukup lama sudah kita terbelenggu oleh jahatnya pembodohan, kini saatnya kita mulai berfikir kritis, apalagi jika kita adalah seorang kader organisasi pergerakan yang sejatinya terus begeliat mencari makna. Dengan berfikir melalui paradigma kritis-transformatif, kita akan terus berfikir bebas tanpa rasa takut akan kehilangan esensi ke-Tauhid-an, karena di sini kita dituntut untuk berfikir free from dan free for (bebas dari dan bebas untuk) tanpa melupakan bahwa harus ada keharmonisan hubungan antara manusia dengan Allah dan alam, karena tanpa keharmonisan hubungan antara manusia, Allah dan alam, apalah artinya seorang manusia.
Lebih lanjut, kita juga dituntut untuk berfikir dengan melihat demarkasi (garis pemisah) yang tegas antara wilayah profan (keduniaan) dan sakral (keagamaan), sehingga tidak ada lagi sekularisme (ateisme, tanpa Tuhan) dalam berfikir, yang ada adalah sekularisasi (proses berfikir dengan batas demarkasi antara wilayah profan dan sakral).
Nilai Dasar Pergerakan (NDP) PMII
Mukadimah
Senantiasa memohon dan menjadikan Allah SWT sebagai sumber segala kebenaran dan tujuan hidup. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia berusaha menggali nilai-nilai ideal-moral, lahir dari pengalaman dan keberpihakan insan warga pergerakan dalam bentuk rumusan-rumusan yang diberi nama Nilai dasar Pergerakan (NDP) PMII. hal ini dibutuhkan untuk memberi kerangka, arti motivasi pergerakan dan sekaligus memberikan legitimasi dan memperjelas terhadap apa saja yang akan dan harus dilakukan untuk mencapai cita-cita perjuangan sesuai dengan maksud didirikannya organisasi ini.
NDP adalah tali pengikat (kalimatun sawa) yang mempertemukan semua warga pergerakan dalam ranah dan semangat perjuangan yang sama. Seluruh warga PMII harus memahami dan menginternalisasikan nilai dasar PMII itu, baik secara personal atau secara bersama-sama, dalam medan perjuangan social yang lebih luas dengan melakukan keberpihakan nyata melawan ketidakadilan, kesewenang-wenangan, kekerasan, dan tindakan-tindakan negative lainnya. NDP ini, dengan demikian senantiasa memiliki kepedulian sosial yang tinggi (faqih fi mashalih al-kahliq fi ad-dunya atau faham dan peka terhadap kemaslahaatan mahluk dunia).
BAB I
ARTI, FUNGSI DAN KEDUDUKAN
ARTI
NDP adalah nilai-nilai yang secara mendasar merupakan sublimasi nilai-nilai ke-Islaman (kemerdekaan/tawasuth/al-hurriyah, persamaan/tawazun/al-musawa, keadilan/ta’adul, toleran/tasamuh) dan ke-Indonesia-an (keberagaman suku, agama dan ras; beribu pulau; persilangan budaya) dengan kerangka pemahaman Ahlusunnah wal Jama’ah yang menjiwai berbagai aturan, memberi arah, mendorong serta penggerak kegiatan-kegiatan PMII. Sebagai pemberi keyakinan dan pembenar mutlak, Islam mendasari, memberi spirit dan élan vital pergerakan yang meliputi cakupan Iman, Islam, Ihsan dalam upaya memperoleh kesejahteraan hidup didunia dan akhirat.
Dalam upaya memahami, menghayati dan mengamalkan Islam tersebut, PMII menjadikan Ahlusunnah wal Jama’ah sebagai manhaj al-fikr sekaligus manhaj al-taghayyur al-ijtima’i (perubahan sosial) untuk mendekontruksi sekaligus merekontruksi bentuk-bentuk pemahaman dan aktualisasi ajaran-ajaran agama toleran, humanis, anti kekerasan dan kritis transformatif.
FUNGSI
A. Kerangka Refleksi (landasan berpikir)
Sebagai kerangka refleksi, NDP bergerak dalam pertarungan ide-ide, paradigma, nilai-nilai yang akan memperkuat nilai-nilai yang akan memperkuat tingkat kebenaran-kebenaran ideal. Ideal-ideal itu menjadi sesuatu yang mengikat, absolut, total, universal berlaku menembus keberbagaian ruang dan waktu (muhkamat, qoth’i). Karenanya, kerangka refleksi ini menjadi moralitas sekaligus tujuan absolut dalam mendulang capaian-capaian nilai seperti kebenaran, keadilan, kemerdekaan, kemanusiaan, dll.
B. Kerangka Aksi (landasan berpijak)
Sebagai kerangka aksi, NDP bergerak dalam pertarungan aksi, kerja-kerja nyata, aktualisasi diri, pembelajaran sosial yang akan memperkuat tingkat kebenaran-kebenaran faktual. Kebenaran faktual itu senantiasa bersentuhan dengan pengalaman historis, ruang dan waktu yang berbeda-beda dan berubah-ubah, kerangka ini memungkinkan warga pergerakan menguli, memperkuat atau bahkan memperbaharui rumusan-rumusan kebenaran dengan historisitas atau dinamika sosial yang senantiasa berubah (mutasyabihat, dzanni).
C. Kerangka Ideologis (sumber motivasi)
Menjadi satu rumusan yang mampu memberikan proses ideologisasi di setiap kader secara bersama-sama, sekaligus memberikan dialektika antara konsep dan realita yang mendorong proses kreatif di internal kader secara menyeluruh dalam proses perubahan sosial yang diangankan secara bersama-sama secara terorganisir.
Menjadi pijakan atau landasan bagi pola pikir dan tindakan kader sebagai insan pergerakan yang aktif terlibat menggagas dan proaktif memperjuangkan perubahan sosial yang memberi tempat bagi demokratisasi dan penghargaan terhadap HAM.
KEDUDUKAN
a. NDP menjadi sumber kekuatan ideal-moral dari aktivis pergerakan.
b. NDP menjadi pusat argumentasi dan pengikat kebenaran dari kebebasan berfikir, berucap dan bertindak dalam aktivitas pergerakan.
BAB II
RUMUSAN NILAI-NILAI DASAR PERGERAKAN
TAUHID
Mengesakan Allah SWT. Merupakan nilai paling asasi dalam agama samawi, didalamnya telah terkandung sejak awal tentang keberadaan manusia.
• Pertama, Allah adalah Esa dalam segala totalitas, dzat, sifat dan perbuatan-perbuatanNya. Allah adalah dzat yang fungsional.
• Kedua, Keyakinan seperti itu merupakan keyakinan terhadap sesuatu yang lebih tinggi dari alam semesta, serta merupakan manifestasi kesadaran dan keyakinan kepada ghaib.
• Ketiga, Oleh karena itu tauhid merupakan titik puncak, melandasi, memandu dan menjadi sasaran keimanan yang mencakup keyakinan dalam hati, penegasan lewat lisan dan perwujudan lewat perbuatan.
Maka, konsekuensinya Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia harus mampu melarutkan dan meneteskan nilai-nilai tauhid dalam berbagai kehidupan serta tersosialisasikan hingga merambah sekelilingnya. Hal ini dibuktikan dengan pemisahan yang tegas antara hal-hal yang profan dan sakral.
HUBUNGAN MANUSIA DENGAN ALLAH
Allah adalah pencipta segala sesuatu. Dia mencipta manusia sebaik-baik kejadian dan menganugerahkan kedudukan terhormat kepada manusia dihadapan ciptaan-Nya yang lain. Kedudukan pemberian daya pikir, kemampuan berkreasi dan kesadaran moral. Potensi itulah yang memungkinkan manusia memerankan fungsinya sebagai khalifah dan hamba Allah. Dalam kehidupan sebagai khalifah, manusia memberanikan diri untuk mengemban amanat berat yang oleh Allah ditawarkan kepada makhluk-Nya. Sebagai hamba Allah, manusia harus melaksanakan ketentuan-ketentuannya. Untuk itu manusia dilengkapi dengan kesadaran moral yang selalu harus dirawat, manusia tidak ingin terjatuh ke dalam kedudukan yang rendah.
HUBUNGAN MANUSIA DENGAN MANUSIA
Tidak ada yang lebih antara yang satu dengan lainnya, kecuali ketaqwaannya. Setiap manusia memiliki kekurangan dan kelebihan, ada yang menonjol pada diri seseorang tentang potensi kebaikannya, tetapi ada pula yang terlalu menonjol potensi kelemahannya. Karena kesadaran ini, manusia harus saling menolong, saling menghormati, bekerjasama, menasehati dan saling mengajak kepada kebenaran demi kebaikan bersama.
Nilai-nilai yang dikembangkan dalam hubungan antar manusia tercakup dalam persaudaraan antar insan pergerakan, persaudaraan sesama umat Islam, persaudaran sesama warga Negara dan persaudaraan sesama umat manusia. Perilaku persaudaraan ini harus menempatkan insan pergerakan pada posisi yang dapat memberikan manfaat maksimal untuk diri dan lingkungannya.
HUBUNGAN MANUSIA DENGAN ALAM
Alam semesta adalah ciptaan Allah. Dia menentukan ukuran dan hukum-hukumnya. Alam juga menunjukkan tanda-tanda keberadaan, sifat dan perbuatan Allah. Berarti juga nilai tauhid melingkupi nilai hubungan manusia dengan manusia. Namun Allah menundukkan alam bagi manusia dan bukan sebaliknya. Jika sebaliknya yang terjadi, maka manusia akan terjebak dalam penghambaan terhadap alam, bukan penghambaan kepada Allah. Allah mendudukkan manusia sebagai khalifah, sudah sepantasnya manusia menjadikan bumi maupun alam sebagai wahana dalam bertauhid dan menegaskan keberadaan dirinya, bukan menjadikannya sebagai obyek eksploitasi.
Salah satu dari hasil penting dari cipta, rasa, dan karsa manusia yaitu ilmu pengetahuan dan teknologi. Manusia menciptakan itu untuk memudahkan dalam rangka memanfaatkan alam dan kemakmuran bumi atau memudahkan hubungan antar manusia. Dalam memanfaatkan alam diperlukan iptek, karena alam memiliki ukuran, aturan dan hukum tersendiri. Alam didayagunakan dengan tidak mengesampingkan aspek pelestariannya.
BAB III
PENUTUP
Nilai-nilai Dasar Pergerakan (NDP) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang dipergunakan sebagai landasan teologis, normative dan etis dalam pola piker dan perilaku warga PMII, baik secara perorangan maupun bersama-sama. Dengan ini dasar-dasar tersebut ditujukan untuk mewujudkan pribadi muslim Indonesia yang bertaqwa kepada Allah, berbudi luhur, berilmu cakap dan bertanggungjawab dalam mengamalkan ilmu pengetahuannya serta komitmen atas cita-cita kemerdekaan rakyat Indonesia, Sosok yang dituju adalah adalah sosok insane kamil Indonesia yang kritis, inovatif dan transformative yang sadar akan posisi dan perannya sebagai khalifah dimuka bumi.
“MEMBINCANG TENTANG GENDER”

A. ABSTRAKSI

Wacana Gender mungkin bisa dikatakan sudah basi, karena sudah sejak lama dibicarakan oleh berbagai kalangan baik oleh para pelajar, lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan maupun kalangan orang-orang agamis, ada pro dan kontra di dalamnya, mereka saling mempertahankan argumennya yang tentu saja dengan rujukan atau sumber hukum yang mereka anggap valid.
Jika melihat realitas sosial di masyarakat wacana tentang kesetaraan gender sangat penting untuk dihembuskan, bahkan kalau perlu bisa dijadikan salah satu mata pelajaran di sekolah menengah atau mata kuliah di perguruan tinggi, dalam makalah ini penulis akan memaparkan sedikit uraian tentang gender, yang bisa dijadikan pengetahuan awal bagi sahabat/I yang masih baru menapak di dunia PMII.

B. JENIS KELAMIN DAN GENDER
Banyak orang yang sering mengasumsikan “GENDER” sebagai perempuan, akan tetapi pada kenyataanya keduanya berbeda. Jenis kelamin adalah kondisi biologis laki-laki dan perempuan yang dibawa sejak lahir dengan fungsi karakteristiknya masing-masing, sedangkan Gender adalah bentukan, konstruksi ataupun interprestasi masyarakat atas perbedaan kondisi biologis laki-laki dan perempuannya, jadi gender bukan sesuatu yang dibawa sejak lahir akan tetapi sesuatu yang dibentuk dan dikembangkan oleh masyarakat.
Misalnya:
- Peran : tugas-tugas rumah tangga seperti mengurus anak lebih pantas dilakukan oleh perempuan dan tak pantas dilakukan laki-laki.
- Sifat : laki-laki dianggap rasional sehingga pantas menjadi pemimpin, sedang perempuan tidak pantas karena emosional.
- Posisi : laki-laki dianggap sebagai pemimpin rumah tangga (sebagai pengambil keputusan) sedangkan perempuan sebagai pendukung.
- Nilai : dari anggapan-anggapan di atas laki-laki diniai lebih penting dari perempuan.
Gender dan peranan gender sering dianggap sebagai kebenaran oleh anggota masyarakat bahkan dianggap sebagai kodrat.
Di dalam kamus kodrat adalah suatu yang telah ditentukan dan tidak bisa dihindarkan, dapat dikatakan pula kodrat adalah karakteristik yang dibawa sejak lahir oleh laki-laki dan perempuan.
Tugas memasak, mengasuh anak sebenarnya bukan kodrat perempuan karena dapat juga dilakukan oleh laki-laki, demikian pula tugas bekerja di ladang, berjualan di pasar dapat juga dilakukan oleh perempuan.
Apa yang pantas dan tidak pantas bagi laki-laki dan perempuan memang tidak sama antara daerah yang satu dengan daerah lainnya. Di Batak misalnya, perempuan yang harus bekerja keras mencari uang sedang di daerah lain juga terjadi perempuan dilarang keluar rumah dan sebagainya. Meski ada perbedaan di berbagai daerah, yang umumnya sama adalah sebagai berikut:
a. Perempuan harus bertanggung jawab atas kehidupan rumah tangga mulai dari mengasuh anak, memasak hingga membereskan rumah.
b. Perempuan harus mengutamakan keluarga dibanding dengan kebutuhannya sendiri, perempuan harus menunjukkan penghormatan pada laki-laki, biasanya ayah (saat ia kecil dan belum menikah) dan suaminya (setelah ia menikah)
c. Laki-laki dianggap sebagai pemimpin (pendapatnya harus dihormati, sehingga yang terjadi laki-laki mempunyai kesempatan memperoleh pendidikan yang lebih dibandingkan dengan perempuan.
Ketidaksetaraan dengan laki-laki dan perempuan dapat dilihat dari beberapa hal antara lain:
1. Stereotipe
Adalah pelabelan negatif terhadap perempuan misalnya perempuan dianggap emosional, hanya mampu melakukan tugas-tugas sederhana dan tidak penting.
Pandangan tersebut seringkali tidak tepat, namun karena sering diulang-ulang seolah menjadi sesuatu yang baku bagi masyarakat termasuk juga perempuan.
2. Subordinassi
Adalah pemosisian perempuan sebagai orang yang kedua setelah laki-laki dengan kata lain tidak diberi posisi penting.
Selain itu perempuan dianggap sebagai milik keluarga, ketidak ia kecil dan belum menikah ia jadi ayahnya dan bila sudah menikah menjadi milik suami
3. Beban Majemuk
Beban majemuk atau beban ganda sering dialami oleh perempuan dalam rumah tangga, disatu sisi ia harus membantu suami mencari nafkah dan di sisi lain ia juga mempunyai tanggung jawab dalam mengasuh anak, memasak dan membereskan rumah.
4. Marginalisasi
Adalah peminggiran terhadap perempuan artinya perempuan ditempatkan sebagai orang yang tidak memiliki peran penting, sebagai pihak yang tidak diperhatikan kebutuhan-kebutuhan dan kesejahteraannya, misalnya dalam pertemuan di masyarakat perempuan ditempatkan dibelakang sebagai pelayan dan tidak memiliki hak suara.
5. Kekerasan (violent)
Adalah resiko yang paling serius sebagai akibat ketidaksetaraan posisi laki-laki dan perempuan. Di sini perempuan rentan terjadi korban kriminalitas, baik dari masyarakat maupun dari keluarganya sendiri.
Bentuk-bentuk kekerasan tersebut seperti penganiayaan, kawin paksa, kekerasan seksual, ucapan-ucapan menghina ( porno) sampai pada ancaman. Pada masyarakat tertentu kekerasan dianggap wajar bahkan menjadi praktek-praktek budaya.
Sadar atau tidak sadar ketidak setaraan di atas sangat merugikan perempuan di mana kita semua tidak akan bisa merubah konstruksi budaya tersebut bila perempuan sendiri enjoy dan menikmati budaya-budaya yang sebenarnya tidak adil bagi mereka

ASWAJAH
Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah
Sejarah Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah
Sebenarnya sistem pemahaman Islam menurut Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah hanya merupakan kelangsungan desain yang dilakukan sejak zaman Rasulullah SAW dan Khulafaur-rasyidin. Namun sistem ini kemudian menonjol setelah lahirnya madzhab Mu’tazilah pada abad ke II H.
Seorang Ulama’ besar bernama Al-Imam Al-Bashry dari golongan At-Tabi’in di Bashrah mempunyai sebuah majlis ta’lim, tempat mengembangkan dan memancarkan ilmu Islam. Beliau wafat tahun 110 H. Di antara murid beliau, bernama Washil bin Atha’. Ia adalah salah seorang murid yang pandai dan fasih dalam bahasa Arab.
Pada suatu ketika timbul masalah antara guru dan murid, tentang seorang mu’min yang melakukan dosa besar. Pertanyaan yang diajukannya, apakah dia masih tetap mu’min atau tidak? Jawaban Al-Imam Hasan Al-Bashry, “Dia tetap mu’min selama ia beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi dia fasik dengan perbuatan maksiatnya.” Keterangan ini berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits karena Al-Imam Hasan Al-Bashry mempergunakan dalil akal tetapi lebih mengutamakan dalil Qur’an dan Hadits.
Dalil yang dimaksud, sebagai berikut; pertama, dalam surat An-Nisa’: 48;
اِنَّ اللهَ لاَيَغْفِرُاَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُمَادُوْنَ ذلِكَ ِلمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدِافْتَرَى اِثْمًاعَظِيْمًا النساء : 48
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa seseorang yang berbuat syirik, tetapi Allah mengampuni dosa selian itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang mempersekutukan Tuhan ia telah membuat dosa yang sangat besar.”
Kedua, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
عَنْ اَبِى ذَرٍ رَضِىَاللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتِانِى اتٍ مِنْ رَبىِ فَأَخْبَرَنِى اَنَّهُ مَنْ مَاتَ مِنْ اُمَّتِى لاَيُشْرِكُ بِاللهِ دَخَلَ اْلجَنَّةَ. قُلْتُ: وَاِنْ زَنىَ وَاِنْ شَرَقَ. قَالَ وَاِنْ زَنىَ وَاِنْ سَرَقَ رواه البخارى ومسل
“Dari shahabat Abu Dzarrin berkata; Rasulullah SAW bersabda: Datang kepadaku pesuruh Allah menyampaikan kepadamu. Barang siapa yang mati dari umatku sedang ia tidak mempersekutukan Allah maka ia akan masuk surga, lalu saya (Abu Dzarrin) berkata; walaupun ia pernah berzina dan mencuri ? berkata (Rasul) : meskipun ia telah berzina dan mencuri.” (Diriwayatkan Bukhari dan Muslim).
فَيَقُوْلُ وَعِزَّتِى وَجَللاَ لِى وَكِبْرِيَانِى وَعَظَمَتِى لأَُخْرِجَنَّ مِنْهَا مَنْ قَالَ لاَاِلهَ اِلاَّ اللهُ. رواه البخارى
“Allah berfirman: Demi kegagahanku dan kebesaranku dan demi ketinggian serta keagunganku, benar akan aku keluarkan dari neraka orang yang mengucapkan; Tiada Tuhan selain Allah.”
Tetapi, jawaban gurunya tersebut, ditanggapi berbeda oleh muridnya, Washil bin Atha’. Menurut Washil, orang mu’min yang melakukan dosa besar itu sudah bukan mu’min lagi. Sebab menurut pandangannya, “bagaimana mungkin, seorang mu’min melakukan dosa besar? Jika melakukan dosa besar, berarti iman yang ada padanya itu iman dusta.”
Kemudian, dalam perkembangan berikutnya, sang murid tersebut dikucilkan oleh gurunya. Hingga ke pojok masjid dan dipisah dari jama’ahnya. Karena peristiwa demikian itu Washil disebut mu’tazilah, yakni orang yang diasingkan. Adapun beberapa teman yang bergabung bersama Washil bin Atha’, antara lain bernama Amr bin Ubaid.
Selanjutnya, mereka memproklamirkan kelompoknya dengan sebutan Mu’tazilah. Kelompok ini, ternyata dalam cara berfikirnya, juga dipengaruhi oleh ilmu dan falsafat Yunani. Sehingga, terkadang mereka terlalu berani menafsirkan Al-Qur’an sejalan dengan akalnya. Kelompok semacam ini, dalam sejarahnya terpecah menjadi golongan-golongan yang tidak terhitung karena tiap-tiap mereka mempunyai pandangan sendiri-sendiri. Bahkan, diantara mereka ada yang terlalu ekstrim, berani menolak Al-Qur’an dan Assunnah, bila bertentangan dengan pertimabangan akalnya.
Semenjak itulah maka para ulama’ yang mengutamakan dalil al-Qur’an dan Hadits namun tetap menghargai akal pikiran mulai memasyarakatkan cara dan sistem mereka di dalam memahami agama. Kelompok ini kemudian disebut kelompok Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah. Sebenarnya pola pemikiran model terakhir ini hanya merupakan kelangsungan dari sistem pemahaman agama yang telah berlaku semenjak Rasulullah SAW dan para shahabatnya.
Ahlu Sunnah wa al-Jamaah Sebagai Manhaj al-Fikr atau Mazhab?
Berfikir jernih, luwes dan kreatif tanpa tedeng aling-aling adalah sebuah cita-cita luhur intelektual muda NU yang menyerap banyak literatur baru dalam hidupnya. Sebuah usaha yang mendapat kecaman hebat dari para kyai berkaitan dengan tradisi lama yang dibangun.
Konsep Ahlussunnah wal Jama’ah adalah satu dari banyak objek pemikiran yang ingin dilacak kebenarannya oleh intelektual muda tersebut. Benarkah pemahaman Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah kita saat ini? Adakah ia sebuah tradisi yang tak bisa diberantas (Aqidah) atau hanyalah sebuah pemikiran yang debatable?
Apapun ia, tentunya menjadi sebuah hal yang unik dan menarik untuk dibicarakan. Betapa tidak? Ketika para intelektual muda NU bergeliat mencari makna kebenaran Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah yang dikultuskan dan menjadi unthoughtable para kiai justru akhirnya merasa terancam eksistensinya. Ada apa dibalik semua ini? Said Aqil Siradj, seorang pemikir muda NU yang banyak menyoroti tentang hal ini dan akhirnya mendapatkan nasib yang sama dengan sesama intelektualis mendasarkan bahwa hapuslah asumsi awal yang menyatakan ini sebagai madzhab pokok.
Dalam beberapa runutan pemikiran berikutnya, ia banyak menjelaskan bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah lahir dengan sebab bahwa ini adalah pondasi ideologi yang tak bisa ditawar-tawar. Pemahaman ini kemudian dikembalikan dengan watak asli Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah yang memberikan otoritas penuh kepada ulama untuk mempertahankan ilmu dan hak atas menafsirkan agama dari kesembronoan anak muda. Sebuah bangunan pengetahuan yang dibenturkan dengan prinsip berfikir yang tawassuth (Moderat), tawazun (keseimbangan), dan ta’adul (keadilan) yang menjadi pembuka wacana inteletualitas ditubuh NU.
Satu kesimpulan awal yang diambil dari pemaparan diatas adalah para ulama merasa jijik dengan pembaharuan yang berefek pada pengutak-atikan ideologi yang diajarkan sebagai pondasi awal di pesantren berbasis NU. Jika dilakukan hal demikian, hancurlah pondasi yang selama ini dibangun, selain pengkultusan yang juga akan hilang begitu saja, sebuah penghormatan tinggi kepada kiai.
Berkembangnya dugaan bahwa ini terjadi karena tradisi Islam yang ada juga masih menimbulkan pertanyaan, karena Islam bukan lahir di Indonesia tetapi tersebar sampai ke negara ini. Maka, kemudian yang terjadi adalah bahwa Islam mengelaborasikan diri terhadap tradisi bangsa ini dengan meng-Islam-kan beberapa diantaranya. Persinggungan inipun menjadi sebuah masalah, bukan hanya karena belum berhasilnya menghilangkan rasa ketradisian yang asli, tetapi juga pada sebuah pertanyaan apakah sebuah tradisi Islam yang ada adalah tradisi asli dari bangsa Arab? atau jangan-jangan sudah terakulturasi dengan budaya Gujarat?. Hal ini menjadi sebuah pemikiran serius tersendiri dalam mencapai sebuah kebenaran.
Lebih lanjut, konstruksi pemikiran yang ada sejatinya haruslah dihapuskan jika memang mau membahas konsep Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah dengan lebih komprehensip. Kalau tidak, yang ada adalah stempelisasi. Pemurtadan terhadap ideologi yang ada, karena mengutak-atik yang dianggap tak akan bersalah dan tak dapat disalahkan. Pemahaman yang sejati tentang makna Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah dan perdebatannya memang diakui haruslah dimulai dari sebuah asumsi bahwa ia adalah sebuah Manhaj al-Fikr (metode berpikir), bukan madzab yang berkarakteristik sebagaimana di atas.

KODE PPC ANDA

Digg Technorati del.icio.us Stumbleupon Reddit Blinklist Furl Spurl Yahoo Simpy

Related Posts by Categories



Widget by Hoctro | Jack Book

0 komentar

Posting Komentar

Langganan: Posting Komentar (Atom)