PMII Komisariat Unisda Lamongan

Commissariat Board Indonesian Moslem Students Movement, Sekretariat : Jl.Airlangga Keduwul, Sukodadi, Lamongan 62262 (Depan SMK PGRI Sukodadi ? Selatan Masjid Sabilillah) Contact Person : 0856 5530 8080/ 0857 3040 4374


KODE PPC ANDA

LANDASAN FILOSOFI
Paradigma merupakan sesuatu yang vital bagi pergerakan organisasi. Karena paradigma merupakan titik pijak dalam membangun konstruksi pemikiran dan cara memandang sebuah persoalan yang akan termanifestasikan dalam sikap dan prilaku social. Disamping itu, dengan paradigma ini pula sebuah organisasi akan menentukan dan memilih nilai-nilai yang universal,abstrak menjadi khusus dan praksis operasional yang akhirnya menjadi karakteristik sebuah organisasi dan gaya berpikir seseorang.
Proses pengkaderan baik formal maupun non formal memiliki kontribusi penting dalam melegitimasi dan melanggengkan system dan struktur social yang ada. Namun, pengkaderan juga merupakan medan perjuangan dan bagian dari proses untuk menggerakkan perubahan social menuju kontruksi social yang adil. Apakah pengkaderan akan mengabdi pada tatanan yang menindas ataukah justru menjadi medan perjuangan, sangat bergantung pada paradigma pengkaderan yang menjadi kerangka kerjanya. Karena itu dibutuhkan pemahaman mengenai berbagai paradigma baik yang melegimitasi system maupun yang memiliki fungsi liberisasi, serta implikasinya dalam praksis pengkaderan
Giroux dan Aronowiz sebagaimana dikutip oleh Mansur Fakih (2001) mengelompokkan ideologi-ideologi pengkaderan ke dalam tiga aliran besar: konservatif, liberal, dan kritis. Secara garis besar perbincangan tentang tiga aliran adalah sebagai berikut :
1. Paradigma Konservatif
Bagi kaum konservatif, terjadinya ketidaksederajatan dalam masyarakat merupakan suatu hal yang alamiah, suatu hal yang mustahil, bisa dihindari, serta sudah merupakan ketentuan sejarah atau bahkan takdir tuhan. Perubahan social bagi mereka bukanlah sesuatu yang harus diperjuangkan, bahkan perubahan justru akan membuat manusia lebih sengsara lagi. Dalam bentuknya yang klasik, paradigma konservatif dibangun berdasarkan keyakinan bahwa masyarakat tidak bisa merencanakan perubahan atau mempengaruhi perubahan social, hanya Tuhanlah yang merencanakan keadaan masyarakat dan hanya dia yang tahu makna dibalik itu semua. Dengan pandangan seperti itu, kaum konservatif klasik tidak menganggap rakyat memiliki kekuasaan atau kekuasaan untuk merubah kondisi mereka.
Namun dalam perkembangannya, paradigma konservatif cenderung menyalahkan subyek. Bagi kaum konservatif, mereka yang menderita, yakni orang-orang yang miskin, buta huruf, kaum tertindas, dan mereka yang dipenjara, menjadi demikian karena salah mereka sendiri. Karena, dalam kenyataannya, banyak orang lain bekerja keras dan berhasil meraih sesuatu. Banyak orang yang bersekolah dan belajar atau kursus, dan karenanya dapat hidup dengan layak, dan tidak menjadi kriminal.
Karena kenyataan tersebut, kaum konservatif menyerukan kepada kaum miskin agar sabar dan belajar untuk berperilaku baik, sambil menunggu giliran mereka dating, karena pada akhirnya kelak semua orang akan mencapai kebebasan dan kebahagiaan. Kaum konservatif sangat melihat pentingnya harmoni dalam masyarakat dan menghindarkan dari konflik dan kontradiksi social.
2. Paradigma Liberal
Kaum liberal berangkat dari keyakinan bahwa memang ada masalah di masyarakat. Namun bagi mereka, pengkaderan tidak memiliki kaitan apapun dengan persoalan social, politik dan ekonomi yang terjadi di masyarakat. Dengan asumsi seperti itu, maka tugas pengkaderan pun tidak memiliki keterkaitan dengan persoalan sosial masyarakat.
Namun demikian, kaum liberal selalu berusaha untuk menyesuaikan pengkaderan dengan keadaan sosial, politik dan ekonomi di luar dunia pengkaderan. Usaha penyesuaian ini dilakukan dengan cara memecah berbagai problem pengkaderan dengan usaha reformasi kosmetik, karikatural. Karena kosmetik, maka umumnya yang dilakukan adalah usaha-usaha seperti pentingnya membangun kelas baru dan fasilitas baru, modernisasi peralatan sekolah dengan pengadaan komputer yang lebih canggih, laboratorium, serta berbagai usaha untuk menyehatkan rasio guru-murid. Selain itu juga didorong inventasi untuk meningkatkan metodologi pengajaran dan pelatihan yang lebih efisien dan partisipatif seperti kelonpok dinamik (dynamic group), Berbagai usaha itu pada dasarnya masih terisolir dari sitem dan struktur ketidakadilan social, dari dominasi budaya dan represi social yang ada dalam masyarakat.
Kaum liberal dan konservatif sama-sama berpendirian bahwa pengkaderan asosial dan excellence merupakan target utama pengkaderan. Kaum liberal berpendapat bahwa persoalan pengkaderan dan persoalan sosial merupakan dua persoalan yang berbeda. Mereka tidak melihat kaitan pengkaderan dalam struktur sosial dan dominasi politik serta budaya dan deskriminasi gender dalam masyarakat. Bahkan pengkaderan, bagi salah satu aliran liberal, yakni fungsional structural personian, justru dirancang untuk menstabilkan norma dan nilai dlam masyarakat. Pengkaderan justru dimaksudkan sebagai media sosialisasi dan reproduksi nilai tata susila keykinan dan nilai dasar agar masyarakat luas berfungsi secara baik.
Pendekatan liberal inilah yang kini mendominasi hampir seluruh pemikiran pengkaderan modern baik formal maupun informal. Jika dilacak dalam sejarah pemikiran, akar filosofi dari aliran ini adalah liberalisme. Yaitu suatu pandangan yang menekankan pengemnbangan kemampuan, melindungi hak dan kebebasan, serta mengindefikasi problem dan upaya perubahan sosial secara inskrimental demi menjaga stabilitas jangka panjang. Konsep pengkaderan liberal berakar dari cita-cita barat tentang individualisme. Gagasan liberalisme dalam sejarahnya berkait erat dengan bangkitnya kelas menengah yang diuntungkan oleh kapitalisme. Pengaruh liberalisme dalam pengkaderan dapat dianalisa dengan melihat komponen-komponennya. Komponen pertama adalah pengauh filsafat barat tentang model manusia universal, yakni model manusia Amerika dan Eropa. Ideal-type dari manusia tersebut adalah rationalis liberal, yang ditandai oleh : Pertama, bahwa semua manusia memiliki potensi sama dalam intelektual, kedua baik tataran alam maupun norma social dapat ditangkap oleh akal . ketiga, individualisti, yakni anggapan bahwa manusia adalah atomistic dan otonom (Bay, 1988). Menempatkan individu secara atomistic, membawa pada keyakinan bahwa hubungan social sebagai suatu kebetulan, dan masyarakat dianggap tidak stabil karena interest anggotanya tidak stabil.
3. Paradigma kritis/Radikal
Pengkaderan dalam paradigma kritis dimaknai sebagai bagian dari medan perjuangan. Bila bagi kaum konservatif, pengkaderan mengabdi pada statusquo, kaum liberal untuk perubahan moderat, maka bagi paradigma kritis dirancang perubahan moderat, maka bagi paradigma kritis dirancang untuk melakukan perubahan fundamental dan transformasional bagi konstruksi social masyarakat. Bagi mereka,konstruksi social merefleksikan dalam dunia pengkaderan. Ini yang membedakan dengan liberal dan konservatif.
Dalam perspektif kritis, urusan pengkaderan adalah melakukan refleksi kritis, terhadap the dominant ideology, menuju transformasi social. Tugas pengkaderan adalah membangun kesadaran kritis dan menciptakan ruang kritis terhadap struktur dan system ketidakadilan, mentransformasikan konstruksi social menuju tatanan berkeadilan. Pengkaderan tidak mungkin bersikap netral, tidak berpihak, obyektif maupun berjarak dengan masyarakat. Dalam paradigma ini, pengkaderan harus mampu menciptakan ruang untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan kritis untuk transformasi social. Dengan kata lain, tugas utama pengkaderan adalah “memanusiakan kembali manusia yang mengalami dehumanisasi karena system dan struktur yang tidak adil.
PILIHAN PARADIGMA VERSI PMII
Disamping terdapat banyak penegrtian mengenai paradigma, dalam ilmu social ada beberapa macam jenis paradigma. Melihat realitas dimasyarakat dan sesuai dengan tuntutan keadaan masyarakat PMII baik secara sosiologis, politis dan Antropologis. Maka PMII memilih Paradigma Kritis Transformatif sebagai wijakan oraganisasi pergerakan.
EKSISTENSI PKT PMII
Definisi Paradigma
Dalam khazanah ilmu social, ada beberapa pengertian paradigma yang dibangun oleh para pemikir sosiologi. Salah satu diantaranya adalah G. Ritzer yang memberi pengertian paradigma sebagai pandangan fundamental tantang apa yang menjadi pokok persoalan dalam ilmu. Paradigma membantu apa yang harus dipelajari, pertanyaan yang harus dijawab, bagaimana semestinya pertanyaan-pertanyaan itu diajukan dan aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menafsirkan jawaban yang diperoleh. Paradigma merupakan kesatuan consensus yang terluas dalam suatu bidang ilmu dan membedakan antara kelompok ilmuwan. Menggolongkan, mendefinisikan dan yang menghubungkan antara eksemplar, teori, metode serta instrumen yang terdapat didalamnya. Mengingat banyaknya definisi yang dibentuk oleh para sosiologi, maka perlu ada pemilihan atau perumusan yang tegas mengenai definisi paradigma yang hendak diambil oleh PMII, hal ini perlu dilakukan untuk memberi batasan yang jelas mengenai paradigma dalam pengertian komunitas PMII agar tidak terjadi perbedaan persepsi dalam memaknai paradigma.
Substansi PKT PMII
Dari penelusuran yang cermat atas paradigma kritis, terlihat bahwa paradigma kritis sepenuhnya merupakan proses pemikiran manusia. Dengan demikian ia adalah secular. Kenyataan ini yang membuat PMII dilematis, karena akan mendapat tuduhan secular jika pola pikir tersebut diberlakukan. Untuk menghindari tudingan tersebut, maka diperlukan adanya reformulasi penerapan paradigma kritis dalam tubuh warga pergerakan. Dalam hal ini, paradigma kritis transformatif diberlakukan hanya sebatas sebagai kerangka bepikir dan metode analisis dalam memandang persoalan. Dengan sendirinya ia harus diletakkan pada posisi tidak diluar dari ketentuan agama, sebaliknya justru ingin mengembalikan dan menfungsikan ajaran agama yang sesungguhnya sebagaimana mestinya. Dalam hal ini penerapan paradigma kritis transformatif bukan menyentuh pada hal-hal yang sifatnya sacral, tetapi pada persoalan yang profan. Lewat paradigma kritis di PMII berupaya menegakkan sikap kritis dalam berkehidupan dengan menjadikan ajaran agama sebagai inspirasi yang hidup dan dinamis.
Sebagaimana dijelaskan diatas, pertama paradigma kritis berupaya menegakkan harkat dan martabat kemanusiaan dari berbagai belenggu yang diakibatkan oleh proses social yang bersifat profan, kedua paradigma kritis melawan segala bentuk dominasi dan penindasan. Ketiga paradigma kritis membuka tabir dan selubung pengetahuan yang munafik dan hegemonic. Semua ini adalah semangat yang dikandung oleh islam. Oleh karenanya, pokok-pokok pikiran inilah yang dapat diterima sebagai titik pijak paradigma kritis transformatif dikalangan warga PMII.
Dasar PKT
Ada beberapa alas an yang menyebabkan PMII harus memilih paradigma kritis sebagai dasar untuk bertindak dan mengimpletasikan pemikiran serta penyusunan cara pandang dalam melakukan analisa. Pertama masyarakat Indonesia saat ini sedang terbelenggu oleh nilai-nilai kapitalisme modern. Kedua masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk, baik etnik, tradisi, kultur maupun keprcayaan. Kondisi ini sangat memerlukan paradigma kritis. Ketiga budaya pemerintahan orde baru yang menggunakan paradigma keteraturan dengan teori-teori modern yang di presentasikan melalui ideology developmentalisme pada bagian tertentu. Keempat selain terbelenggu social politik yang masih melekat hingga hari ini meskipun tidak separah era orde baru dampaknya secara tidak sadar telah terjadi berbagai pemahaman yang distortif mengenai ajaran dan fungsi agama.
Peranan PKT
Menurut Hasan Hanafi Penerapan paradigma kritis ini terlihat jelas dalam konstruksi pemikirannya terhadap agama. Dia menyatakan untuk memperbarui masyarakat islam yang mengalami ketertinggalan dalam segala hal, pertama-tama diperlukan analisis social. Menurutnya selama ini mengandalkan otoritas teks kedalam kenyataan. Dia menemukan kelemahan mendasar dalam metodologi ini. Pada titik ini dia memberikan kritik tajam terhadap metode tradisional teks yang telah mengalami ideologis.
Dari pemahaman gerakan paradigma kritis tersebut sebenarnya berupaya membebaskan manusia dengan semangat dan ajaran agama yang lebih fungsional. Dengan kata lain, kalau paradigma kritis barat berdasarkan pada semangat revolusioner sekuler dan dorongan kepentingan sebagai dasar pijakan, maka dalam paradigma kritis PMII justru menjadikan nilai-nilai agama yang terfokus pada dogmatisme itu sebagai pijakan untuk membangkitkan sikap kritis melawan belenggu yang kadang-kadang disebabkan oleh pemahaman yang distortif.
Jelas ini terlihat ada perbedaan yang mendasar penerapan paradigma kritis antara barat dengan islam (yang diterapkan PMII). Namun demikian harus diakui adanya persamaan antara keduanya yaitu dalam metode analisa, bangunan teoritik dan semangat pembebasan yang terkandung didalamnya. Jika paradigma kritis ini bisa diterapkan dikalangan warga pergerakan, maka kehidupan keagamaan akan berjalan dinamis, berjalannya proses pembentukan kultur demokratis dan penguatan civil society akan segera dapat terwujud. Dan kenyataan ini terwujud manakala masing-masing anggota PMII memahami secara mendalam pengertian, kerangka paradigmatic dan konsep teoritis dari paradigma kritis yang dibangun oleh PMII.
KESIMPULAN
Paradigma Kritis Transformatif PMII merupakan pandangan fundamentalis tentang apa yang menjadi pokok persoalan dalam pergerakan, format pengkaderan yang dikemas dalam rumusan materi PKT untuk membangun kesadaran kritis individualis menuju kesadaran kritis social dan menciptakan ruang kritis pada pembacaan struktur dan system ketidakadilan yang mempreser tranformasi kontruksi social menuju tatanan keadilan. Dalam PKT ini sebagai kader pergerakan harus mampu mengindentifikasi dan menganalisa secara bebas dan kritis dalam transformasi social, tanpa mengesampingkan platform profan”Religius Nasionalis” dengan dalih untuk mensukseskan cita-cita yang mulia dan utama dalam bingkai “Memanusiakan Kembali Manusia Yang Mengalami Dehumanisasi Karena System Dan Struktur Yang Tidak Adil”.

Pergerakan Mahasiswa islam Indonesia
Dari namanya PMII disusun dari empat kata yaitu “Pergerakan”, “Mahasiswa”, “Islam”, dan “Indonesia”. Makna “Pergerakan” yang dikandung dalam PMII adalah dinamika dari hamba (makhluk) yang senantiasa bergerak menuju tujuan idealnya memberikan kontribusi positif pada alam sekitarnya. “Pergerakan” dalam hubungannya dengan organisasi mahasiswa menuntut upaya sadar untuk membina dan mengembangkan potensi ketuhanan dan kemanusiaan agar gerak dinamika menuju tujuannya selalu berada di dalam kualitas kekhalifahannya.

Pengertian “Mahasiswa” adalah golongan generasi muda yang menuntut ilmu di perguruan tinggi yang mempunyai identitas diri. Identitas diri mahasiswa terbangun oleh citra diri sebagai insan religius, insan dimnamis, insan sosial, dan insan mandiri. Dari identitas mahasiswa tersebut terpantul tanggung jawab keagamaan, intelektual, sosial kemasyarakatan, dan tanggung jawab individual baik sebagai hamba Tuhan maupun sebagai warga bangsa dan negara.

“Islam” yang terkandung dalam PMII adalah Islam sebagai agama yang dipahami dengan haluan/paradigma ahlussunah wal jama’ah yaitu konsep pendekatan terhadap ajaran agama Islam secara proporsional antara iman, islam, dan ikhsan yang di dalam pola pikir, pola sikap, dan pola perilakunya tercermin sikap-sikap selektif, akomodatif, dan integratif. Islam terbuka, progresif, dan transformatif demikian platform PMII, yaitu Islam yang terbuka, menerima dan menghargai segala bentuk perbedaan. Keberbedaan adalah sebuah rahmat, karena dengan perbedaan itulah kita dapat saling berdialog antara satu dengan yang lainnya demi mewujudkan tatanan yang demokratis dan beradab (civilized).

Sedangkan pengertian “Indonesia” adalah masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia yang mempunyai falsafah dan ideologi bangsa (Pancasila) serta UUD 45.


Sejarah Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia lahir dari organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama’ (NU). Pada tanggal 17 April 1960. ide lahirnya PMII lahir dari hasrat yang kuat dari kalangan mahasiswa NU untuk membentuk sebuah organisasi yang menjadi tempat berkumpul dan beraktifitas bagi mereka. Akan tetapi karena pada waktu itu sudah berdiri Ikatan Pemuda Nahdlatul Ulama (IPNU), sementara anggota dan pengurusnya banyak yang dari mahasiswa maka para mahasiswa NU banyak yang bergabung dengan IPNU. Sebenarnya keinginan untuk membentuk sebuah organisasi sudah ada sejak Muktamar II IPNU tahun 1959 di Pekalongan Jawa Tengah, akan tetapi belum mendapat respon yang serius, karena IPNU sendiri pada waktu itu masih memerlukan pembenahan, dalam proses IPNU yang masih dalam proses establish dikhawatirkan tidak ada yang mengurusi. Karena IPNU dianggap tidak mampu menampung aspirasi mahasiswa NU pada waktu itu. Pertama, kondisi objektif antara keinginan dan harapan mahasiswa serta dinamika yang terjadi berbeda dengan keinginan para pelajar. Kedua, dengan hanya membentuk departemen dalam IPNU mahasiswa NU tidak bisa masuk PPMI Persatuan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia, karena PPMI hanya menampung ormas mahasiswa.
Puncak dari perhelatan dibentuk tidaknya organisasi mahasiswa NU adalah ketika IPNU menyelenggarakan konferensi besar pada tanggal 14-17 Maret 1960 diKaliurang Yogyakarta. Diawali oleh Isma’il Makky selaku ketua departemen Perguruan Tinggi (IPNU) dan M. Hartono, BA (mantan Wakil Pimpinan usaha Harian Pelita Jakarta), akhirnya forum konferensi membuat keputusan tentang perlunya didirikan organisasi mahasiswa NU. Lalu dibentuklah panitia sponsor pendiri yang beranggotakan 14 orang, yang dilanjutkan dengan musyawarah mahasiswa NU yang diselenggarakan di Surabaya, yang sebelumnya PBNU sudah merestui. Dan pada tanggal 17 April 1960 secara sah PMII dinyatakan berdiri dan H. Mahbub Djunaidi dinyatakan sebagai ketua terpilih.
1. Unsur pemikiran yang ditonjolkan pada organisasi yang akan berdiri pada waktu itu adalah:
2. Mewujudkan adanya kedinamisan sebagai organisasi mahasiswa, khususnya karena pada waktu itu situasi nasional sedang diliputi oleh semangat revolusi.
3. Menampakkan identitas ke-Islaman sekaligus sebagai konsepsi lanjutan dari NU yang berhaluan ahlu sunnah wal jamaah juga berdasarkan perjuangan para wali di pulau jawa yang telah sukses dengan dakwahnya. Mereka sangat toleran atas tradisi dan budaya setempat. Sehingga dengan demikian ajaran-ajarannya bersifat akomodatif.
4. Memanifestasikan nasionalisme sebagai semangat kebangsaan, karenanya nama Indonesia harus tercantum.
Independensi dan pencarian jati diri
Jatuhnya orde lama dan naiknya Soeharto sebagai rezim orde baru membawa kepada perubahan politik dan pemerintahan yang cukup signifikan setelah Soekarno sebelumnya membubarkan Masyumi, orde baru juga berobsesi untuk mengurangi partai politik yang berbau ideologi dengan mendirikan partai untuk menopang keuasaannya sendiri. Kebijakan pemerintahan orde baru diatas telah menempatkan pemerintahan sebagai wilayah kauasaan yang tidak bisa dijamah dan dikritisi oleh masyarakat.
Fenomena diatas menuntut PMII mampu melakukan pembacaan secara jeli tentang dirinya ditengah upaya pemerintah untuk melakukan upaya-upaya pengkerdilan terhadap setiap komponen masyarakat-bangsa termasuk partai politik selain golkar. Dari hasil pembacaan itu bahwa apabila PMII tetap bernaung dibawah NU yang masih berada pada wilayah politik praktis, maka PMII akan mengalami kesulitan untuk berkembang sebagai ormas mahasiswa. Atas dasar pertimbangan inilah pada MUBES V tanggal 14 Juli 1972 di Munarjati Malang, PMII memutuskan untuk menjadi organisasi yang independen yang tertuang dalam deklarasi Munarjati. Dengan ini PMII sebagai tidak terikat pada sikap dan tindakan siapapun dan hanya komitmen dengan perjuangan organisasi serta cita-cita perjuangan nasional yang berlandaskan pancasila.
Pada periode 1980-an PMII yang mulai serius masuk dan melakukan pembinaan di perguruan tinggi menemukan kesadaran baru dalam menentukan pilihan dan corak gerakannya. Bersamaan dengan Khittah 1926 NU pada tahun 1984 dan diterimanya pancasila sebagai asas tunggal, PMII telah membuat pilihan-pilihan peran yang cukup strategis. Dikatakan strategis karena menentukan pilihan pada tiga hal yang penting, yaitu:
1. PMII memberikan prioritas pada upaya pengembangan intelektualitas.
2. PMII menghindari keterlibatannya dengan politik praktis, baik secara langsung atau tidak, dan bergerak pada wilayah pemberdayaan Civil Society.
3. Memilih mengembangkan paradigma kritisisme terhadap negara. Pilihan-pilihan tersebut membuat PMII selalu berjarak dengan struktur-struktur kekuasaan politik maupun pemerintahan.

KODE PPC ANDA

Digg Technorati del.icio.us Stumbleupon Reddit Blinklist Furl Spurl Yahoo Simpy

Related Posts by Categories



Widget by Hoctro | Jack Book

0 komentar

Posting Komentar

Langganan: Posting Komentar (Atom)