PMII Komisariat Unisda Lamongan

Commissariat Board Indonesian Moslem Students Movement, Sekretariat : Jl.Airlangga Keduwul, Sukodadi, Lamongan 62262 (Depan SMK PGRI Sukodadi ? Selatan Masjid Sabilillah) Contact Person : 0856 5530 8080/ 0857 3040 4374


KODE PPC ANDA

Membangun Basic Ekonomi Organisasi Kader

BAB I
HANTARAN DISKUSI
Dalam sebuah organisasi, kekuatan ekonomi merupakan salah satu tiang penyangga sebuah eksistensi organisasi. Berjalan tidaknya organisasi sedikit banyak akan sangat dipengaruhi oleh kuat atau lemahnya dana operasional dalam menjalankan aktivitas organisasi. Berjalan lancar atau tersendatnya suatu kegiatan dalam berorganisasi juga tergantung pada sedikit atau banyaknya dana yang bisa mensupport dalam kegiatan tersebut, walaupun ada sedikit keyakinan dari para aktivis organisasi bahwa tidak ada dana atau kurangnya dana operasional bukan merupakan faktor penghambat yang utama dalam “membumikan ide-ide langit” agar menjadi sebuah realitas.

Pertanyaan mendasar dalam permasalahan ini adalah “How to development economic for organization?” (sory kalau keliru, lagi belajar bahasa Inggris) atau dengan bahasa planet yang lain adalah bagaimana kita dapat membangun ekonomi untuk penguatan sebuah organisasi. Pertanyaan yang paling dasar seringkali kita pikirkan dan kita keluhkan, bahkan bisa membingungkan para “pemikir” organisasi. Apakah nanti tidak bersinggungan atau vis a vis dengan garis ideologi organisasi? Apakah tidak bertentangan dengan idealitas mahasiswa? Jangan-jangan nanti malah menjadi organisasi profit oriented atau menjadi “organisasi kapitalis”? Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan atau “jangan-jangan” yang lain yang menjadi “pertimbangan” untuk memulai membangun ekonomi organisasi.

Sebenarnya pertanyaan-pertanyaan yang berbau “was-was” di atas juga bukan merupakan pertanyaan yang buruk, atau bahkan jelek karena hal tersebut didasari atas sebuah harapan bahwa organisasi pergerakan (baca: PMII) tidak tercerabut dari akar gerakannya yang bergerak pada basis pengkaderan dengan mengedepankan idealitas mahasiswa yang tidak bersifat pragmatis dalam menyikapi realitas “sandiwara” kehidupan ini. Di samping itu, banyaknya organisasi yang mendapatkan “harta karun” secara mendadak ternyata dapat menghilangkan idealitas yang diusung secara mendadak pula, atau ada juga yang masuk pada wilayah “penguasa” yang “basah” juga ternyata tidak bisa membawa idealitasnya yang seharusnya menjadi paltform gerakannya juga menjadi pelajaran tersendiri bagi perjalanan PMII untuk selalu menimbang dan menimbang kebijakan yang diambil agar tidak keluar dari akar gerakannya. Namun harapan penulis bahwa pertimbangan ini tidak menjadi traumatik organisasi atau sebuah penghambat untuk selalu inovatif dalam mengembangkan dan mengepakkan sayap gerakannya pada jalur yang benar.
Untuk memulai perjalanan ini memang tidak mudah karena harus memadukan, meramu dan memodifikasi antara sebuah idealitas gerakan dengan bangunan ekonomi yang cenderung mengarah pada “organisasi kapitalis”. Atau apabila memakai bahasa pertanyaan adalah “Bagaimana caranya agar bangunan ekonomi organisasi kuat namun idealitas gerakan organisasi tetap orisinil bahkan makin mengkilap?”
Untuk membuka dan menguak permasalahan ini perlu proses penelaahan dan kajian ulang terhadap historis perjalanan organisasi yang berkaitan dengan usaha yang telah dilakukan dalam membangun ekonomi organisasi dan mencari beberapa alternatif yang dapat menjawab permasalahan tersebut.

BAB II
MAMBANGUN PERSEPSI
PEMBANGUNAN EKONOMI ORGANISASI
Sebelum membincangkan solusi atau mencari format bangunan ekonomi organisasi, perlu dibangun dahulu persepsi awal tentang pembangunan ekonomi organisasi itu sendiri. Kata “pembangunan” yang dipakai di sini bukan berarti orang “orde baru” yang terkenal dengan konsep pembangunanisme (developmentalisme) yang mengarah pada kapitalisme global, bukan pula orang kolot atau kuno yang senang membicarakan kata pembangunan, namun lebih mengarah pada pencarian istilah yang pas untuk sebuah usaha awal dalam membuat sesuatu yang baru (baca: merintis) di dalam usaha penguatan ekonomi bagi sebuah organisasi.
Sedangkan ekonomi organisasi adalah menciptakan sebuah peluang usaha yang bisa menghasilkan income organisasi (baca: menambah kas) yang berasal dari pemanfaatan segala sumber potensi luar organisasi maupun berasal dari sebuah swadaya organisasi atau hasil daya cipta kreasi inovatif dari pimpinan/anggota organisasi.
Bangunan ekonomi organisasi secara ideal adalah ekonomi yang dapat menopang segala aktivitas organisasi dengan tetap mempertahankan, memperjelas dan tidak menghilangkan sebuah karakter organisasi.
Agar tidak kehilangan “roh organisasi” tentunya para pengambil kebijakan atau pencetus ekonomi organisasi harus mengetahui jati diri dan karakter organisasi itu sendiri (who am I). Untuk mengetahui “who am I” organisasi bisa diketahui dari analisa diri, evaluasi perjalanan historis organisasi, atau dengan menggunakan metode kontemplasi ala teater el-Izzah. Setelah jati diri organisasi dapat diketahui, maka karakter yang dibangun dalam organisasi dengan sendirinya akan nampak. Baru kemudian bisa menentukan “who I need?” dan “what can I do?” Lalu, format bangunan ekonomi yang bagaimana yang bisa ditawarkan dan cocok bagi PMII Pasuruan?. Sodoran format ekonomi bagi PMII Pasuruan sebenarnya tidak bisa diketik atau hanya diskusi semalam suntuk yang khusus meramu dalam masalah ini tanpa didasari “jati diri”, tetapi lebih didasarkan pada hasil proses yang panjang dari sebuah refleksi perjalanan PMII Pasuruan selama ini dan membaca tingkat kebutuhan PMII di masa yang akan datang. Apabila uraian di atas “diramu” dalam bentuk skema, maka dapat dilihat sebagai berikut:
ALUR
PEMBANGUNAN EKONOMI ORGANISASI
Jati diri organisasi (Who am I?)
Sejarah perjalanan organisasi
Membaca kekuatan dan potensi yang dimiliki
Membaca kelemahan organisasi
Tujuan dan landasan idiil organisasi
Kebutuhan organisasi (What I need?)
Mandiri
Pengkaderan optimal
Optimalisasi potensi ekonomi organisasi
Intra organisasi
Ekstra organisasi
Kader, pengurus & sarpras
Alumni, pemerhati organisasi, pemerintah, OKP/LSM, masyarakat, dan “pasar”
Kebijakan/langkah organisasi (What can I do?)
(pilihan kebijakan organisasi untuk mandiri dengan tetap mempunyai karakter)
Iuran anggota
Pengkaderan berpotensi ekonomi berbasis pengkaderan
(ketrampilan, kursus, pelatihan, dsb)
Ekonomi berbasis pengkaderan (Badan usaha/membuka toko, PKL, menjual majalah/buku, rental)
Optimali-sasi donatur dan alumni

BAB III
MEMBACA
REALITAS BASIC EKONOMI PMII
Ada yang menarik ketika membicarakan tentang organisasi PMII, yakni sudah terbangunnya persepsi (sebagian dari para pengurus) bahwa PMII merupakan salah satu organisasi pengkaderan untuk membentuk para aktivisnya menjadi “pengemis intelektual” yang pekerjaannya menawarkan sebuah program kerja dalam bentuk proposal untuk mencari para donatur. Terlepas dari salah atau benar tentang persepsi tersebut, namun lontaran pernyataan sering di dengar ketika sedang berkumpul sesama aktivis PMII dalam sebuah pertemuan non formal (informal meeting, media cangkru’an kopi, dan sebagainya) ketika membicarakan tentang basis ekonomi di masing-masing daerah (baca: cabang).
Tersendat atau tidak adanya dana operasional organisasi bukan menjadi sebuah hal yang luar biasa, bahkan ketika pengurus organisasi tiba-tiba menjadi seorang borju, persepsi negative thinking terkadang bisa muncul juga. Pernyataan “jangan-jangan” (yang berbau suudzon) merupakan topik pembicaraan yang menarik untuk diungkapkan.
Sekilas (ketika tanpa ada refleksi yang dalam) gejala tersebut seakan-akan hal yang wajar. “Dalam organisasi ya harus berani soro” begitu kira-kira ungkapan yang cocok untuk mendeskripsikan fenomena ini. Namun apabila hal ini dibiarkan berlarut-larut bukannya tidak mungkin fenomena ini akan menjadi sebuah penghambat dan traumatik tersendiri bagi kader awam tanpa ada proses positive balancing untuk menjelaskan fenomena atau makna yang sebenarnya, atau tersendatnya program kerja organisasi karena tidak adanya financial support yang berimplikasi pada terganggunya proses pengkaderan dalam organisasi, atau hal yang lebih buruk lagi adalah hilangnya daya tawar atau bergaining organisasi dengan lembaga-lembaga yang berduit, atau bahkan yang paling buruk adalah organisasi bisa terjual idealitasnya dan (maaf) “ngatok” pada organisasi kapitalis tanpa ada nilai daya tawar apapun. Untuk membuat suatu perubahan dalam proses pembangunan dan penguatan ekonomi organisasi diperlukan “tenaga”, kemauan dan kemampuan yang mumpuni dan tidak ringan serta diperlukan kesabaran yang super ekstra. Hal ini tidak semata-mata hanya mencari sebuah alternatif dan menjalankan ide yang muncul tanpa perlu membangun sebuah pondasi yang kokoh, namun lebih dari itu. Bangunan ekonomi yang kokoh harus dipikirkan, direncanakan dengan matang agar persiapan dalam proses ini tidak akan menjadi “buah simalakama” yang mendatangkan mudlorot bagi perkembangan organisasi, namun bagaimana nantinya buah yang di dapat bisa menjadi berwarna-warni, ranum, enak, lezat dan bisa bikin ketagihan (bukan narkoba lho…). “Tenaga”, kemauan dan kemampuan yang mumpuni di atas bila ditransendenkan dengan realitas PMII sepertinya membutuhkan tambahan “ekstra ginseng agar lebih greng”. Hal ini bukan “tambahan kecap” dari penulis, namun dari beberapa hasil diskusi sering terlontar sebuah kekhawatiran atau ketakutan, di antaranya:
a. Kehilangan idealitas gerakan organisasi
Pada saat membangun ekonomi organisasi, tenaga dan pikiran akan tersedot pada wilayah ekonomi ansich. Hal ini akan berimplikasi pada idealitas gerakan yang akan terabaikan karena tersedotnya orientasi atau beralihnya orientasi organisasi menjadi organisasi profit (organisasi yang berorientasi pada profit)
b. Takut tidak bisa membagi waktu antara kegiatan pengkaderan dengan proses pencarian dana/pembangunan ekonomi
Ketika bangunan ekonomi telah terbentuk, kemungkinan besar perhatian terhadap proses pengkaderan akan sedikit terkurangi atau bahkan terabaikan. Apalagi jika pengurus/pemimpin organisasi sudah bekerja pada perusahaan/lembaga pendidikan, maka pembagian waktu antara kebutuhan pribadi, proses pengkaderan dan kebutuhan ekonomi organisasi akan menjadi sulit.
c. Pembangunan ekonomi masih mengarah pada profit oriented (jualan barang, buka toko atau warung, dan sebagainya).
Selama ini, paradigma yang muncul dalam membuat bangunan ekonomi organisasi adalah berbentuk profit oriented. Sedangkan sumbangan dari donatur atau iuran anggota bukan termasuk pada bangunan ekonomi organisasi.
d. Kekurangan tenaga profesional dalam menangani masalah ekonomi.
Ketika akan mencoba untuk memulai proses bangunan ekonomi –membuka toko/warung/biro jasa- maka problem yang muncul kemudian adalah siapa yang mampu mengelola? Apakah dari anggota organisasi atau bukan? Bila berasal dari anggota, apakah dari pengurus atau anggota biasa? Bagaimana sistem bagi hasilnya? Belum lagi siapa yang memberikan modal pertama saha? Dan masih banyak lagi problem yang muncul yang menjadi pertimbangan organisasi.
e. Masih berkutat pada wacana walau sudah dibuat badan ekonomi/disfungsi pengurus atau devisi ekonomi, dan sebagainya).
Ide untuk mandiri (baca: membangun basis ekonomi organisasi) di PMII Cabang Pasuruan sebenarnya sudah tercetus pada beberapa periode yang lalu (masa kepengurusan sahabat Sutrisno (1999) sampai kepengurusan sahabat Jauharul Lutfi (2004)) dengan dibentuknya suatu devisi ekonomi yang khusus menangani perekonomian cabang agar lebih mandiri. Ide dibuatnya devisi ekonomi sebenarnya mulai nampak pada masa kepengurusan sahabat Waladi Imaduddin (2001) dengan membuat jasa rental VCD “Oniel” anti porno dan dijamin halal walau mampu bertahan beberapa bulan. Salah satu kendala yang dihadapi adalah pengelola jasa rental yang tidak permanen, artinya seluruh pengurus berhak untuk mengelola sehingga sentralisasi pengelolaan menjadi agak kabur. Hal ini sedikit menghambat pada wilayah pengembangan rental itu sendiri. Kendala yang lain adalah sedikit terganggunya aktivitas “bisnis” karena harus membagi waktu dengan proses pengkaderan yang menjadi kewajiban utama organisasi.
Setelah masa atau sebelum masa pembukaan jasa rental VCD “Oniel” masih belum menemukan suatu terobosan baru yang signifikan, selain hanya berkutat sebatas pada program kerja ataupun pada tingkatan wacana. Kekuatan devisi ekonomi untuk membuat sebuah karya yang ber”prestasi gemilang” sepertinya masih belum nampak. Entah bakat yang terpendam dalam membangun basic ekonomi organisasi belum terasah atau memang dipendam dalam-dalam sehingga tidak nampak?!
Namun yang pasti harapan untuk mandiri merupakan “satu prestasi awal” yang patut diacungi jempol, tinggal menunggu satu polesan kreatif pengurus yang dapat menciptakan satu ruang kemandirian dalam pembangunan basic ekonomi bagi organisasi.
f. Minim/kurangnya modal dan tidak ada alternative tempat untuk pengembangan usaha.
“Untuk membangun suatu basic ekonomi diperlukan tenaga, pikiran, kemauan yang tinggi serta ditunjang dengan sarana prasarana dan modal yang lumayan”, pernyataan ini yang mungkin terlintas dalam pemikiran para tokoh organisasi untuk membangun sebuah basic ekonomi.
Pikiran di atas akan dirasa sangat berat bagi para tokoh organisasi (baca: pengurus) untuk mengembangkan sebuah bangunan basic ekonomi organisasi. Hal ini didasarkan pada realitas bahwa organisasi kader belum/tidak mempunyai dana operasional organisasi yang memadai dan mapan. “Bantingan uang” untuk menjalankan sebuah program kerja organisasi merupakan satu fenomena yang tidak asing lagi. Bahkan kalau tidak ada yang dibanting, akad utang atas nama organisasi pun kerap dilakukan, yang penting program jalan. Fenomena ini mungkin yang menjadi kendala dalam membangun ekonomi organisasi.
Selain itu status “kantor” (baca: sekretariat) cabang maupun komisariat masih nomaden dan berpindah-pindah alamat tiap perjanjian kontrak habis juga menjadi penghambat untuk membangun ekonomi organisasi yang mapan.
g. Belum menemukan satu format bangunan ekonomi organisasi.
Menemukan format bangunan ekonomi organisasi yang tidak menghilangkan karakter gerakan organisasi memang bukan suatu pekerjaan yang mudah dan diperlukan “sejuta pertimbangan” agar pilihan format yang digunakan “sesuai dengan selera” sehingga langkah dan kebijakan yang diambil tidak salah sasaran. Format yang sesuai selera inilah yang selama ini masih belum ditemukan dan belum terumuskan secara matang dalam organisasi PMII.


BAB IV
PARADIGMA BANGUNAN EKONOMI
ORGANISASI PENGKADERAN
Pada dasarnya, proses konsep pembangunan ekonomi organisasi yang dimaksudkan di sini adalah menekankan pada proses membuka “file-file lama” untuk di up date lagi agar file yang disfungsi karena ada hambatan-hambatan dapat menjadi fungsional dan efektif. Untuk memfungsikan file lama ini maka paradigma baru merupakan salah satu kunci yang bisa menjawab persoalan tersebut.
Paradigma yang dibangun dalam proses pembangunan ekonomi organisasi tentunya harus sesuai dengan karakter gerakan organisasi sehingga proses pembangunan ekonomi organisasi tidak akan menjadi penghambat organisasi atau terhambat dalam proses pembangunan basic ekonomi bagi organisasi.
Lalu paradigma apa yang perlu dibangun dalam proses pembangunan ekonomi organisasi, khususnya PMII sebagai organisasi pengkaderan? Apabila melihat keluh kesah dalam proses pembuatan ekonomi organisasi sebagaimana yang telah diuraikan di atas penulis menangkap garis merah bahwa selama ini antara proses pengkaderan dengan proses bangunan ekonomi (baca: usaha ekonomi) yang bisa mensupport organisasi belum bisa menjadi bagian integral pengkaderan. Usaha ekonomi merupakan “dunia lain” yang terkoneksi dengan organisasi atau masih menjadi “dunia maya” organisasi, bukan bagian integral yang utuh dalam organisasi. Kalaupun sudah integral namun menurut penulis masih bersifat integral yang parsial.
Penilaian ini didasari atas beberapa hal, di antaranya:
1. Masih belum ada format ekonomi orgnisasi yang konkrit.
Ketika format ekonomi organisasi masih belum terumuskan secara konkrit, maka persepsi yang terbangun adalah ekonomi masih sulit untuk menjadi bagian integral pengkaderan PMII karena ekonomi masih banyak berorientasi pada profit oriented
2. Pengkaderan PMII masih belum menyentuh pada ranah bidang ekonomi. Kalaupun ada masih bersifat kajian perkembangan ekonomi makro yang dikaitkan dengan konteks kekinian. Pelatihan-pelatihan ekonomi yang mengarah pada skill masih jarang ditemukan dan sifatnya masih temporal.
3. Masih belum ada contoh konkrit sebuah organisasi pengkaderan atau organsasi kemasyarakatan mempunyai basis ekonomi yang handal. Hal ini semakin memperkuat image bahwa sebuah organisasi pengkaderan atau kemasyarakatan harus berorientasi pada wilayah peningkatan kemampuan anggota organisasi di bidang ideologi atau yang berkaitan dengan ideologi. Sedangkan peningkatan kemampuan pada wilayah ekonomi belum menjadi satu pilihan utama.
4. Bangunan ekonomi organisasi dinilai banyak mengandung resiko, baik dalam bidang pengelolaan, pembagian tugas dan hasil, terganggunya proses pengkaderan dan masih banyak resiko yang lain. Oleh karena itu, untuk urusan ekonomi lebih baik bersifat individu karena lebih aman dan jauh dari fitnah dunia (minimal terhindar dari suudzon).
Apabila dirasakan, menurut penulis ada sesuatu yang salah, ada sesuatu yang kurang tepat pada posisinya. Karena semua sepakat bahwa ekonomi sangat berpengaruh terhadap perkembangan organisasi. Ekonomi mempunyai peranan penting “melek-meremnya” organisasi, bahkan ada yang menilai bahwa ekonomi juga merupakan salah satu dari pondasi organisasi di samping ideologi, statuta organisasi dan pengkaderan. Lalu mengapa bangunan ekonomi organisasi masih belum ada atau masih lemah? Mengapa pengambil kebijakan organisasi masih banyak yang ragu-ragu untuk memperkuat basis perekonomian organisasi? Mengapa tidak melaksanakan bangunan ekonomi organisasi apabila dinilai sangat penting bagi organisasi? Mengapa
Untuk memulai bangunan ekonomi organisasi ini di mulai dari pandangan dan niat, dimulai dari cara pandang, dimulai dari paradigma. Karena paradigma akan menjadi “roh spiritual” yang bisa menghidupkan jasmani yang telah mati, bisa menghiasi proses bangunan ekonomi untuk lebih kokoh dan stabil serta bisa memberikan spirit tersendiri agar kelangsungan ekonomi organisasi tidak setengah-setengah.
Paradigma yang dikembangkan adalah paradigma yang bisa menggambarkan, memberikan ciri khas dan menekankan pada karakter gerakan organisasi, tidak sampai menghilangkan atau memberikan ketidakjelasan “jenis kelamin” gerakan organisasi.
Berdasarkan latar belakang di atas, paradigma yang perlu dikembangkan untuk proses pembangunan ekonomi organisasi pengkaderan adalah bagaimana membentuk dan menciptakan bangunan ekonomi organisasi menjadi bagian integral dari proses pengkaderan. Semua sistem, semua proses yang dikembangkan merupakan bentuk dari sebuah pengkaderan. Apapun bentuk ekonomi yang dikembangkan organisasi tidak menyimpang dari garis besar pengkaderan yang dikembangkan organisasi yang merupakan bentuk pengejawantahan azas-azas organisaSI
.Apabila dibreakdown lebih lanjut, paradigma di atas dapat dipilah menjadi dua, yakni:
1. Pengkaderan berpotensi ekonomi berbasis pengkaderan
Apabila dirasakan lebih jauh, proses pengkaderan organisasi baik yang bersifat formal, informal maupun non formal apabila dikelola secara profesional sebenarnya mempunyai potensi ekonomis. Contoh kecil adalah mengoptimalkan pengelolaan bantuan dari donatur sebuah pelatihan. Apabila hal ini dikelola secara optimal, maka organisasi akan mendapatkan income dari sebuah kegiatan pelatihan. Namun yang harus disadari adalah organisasi bukanlah alat untuk “memeras” para donatur dengan mengatasnamakan sebuah organisasi. Tetapi income yang di dapat memang betul-betul dioptimalkan dalam sebuah proses pengkaderan.
2. Ekonomi berbasis pengkaderan.
Dalam hal ini, organisasi lebih bersifat menciptakan suatu usaha yang bisa menghasilkan income (baca: kas) organisasi. Misalnya membuat sebuah Badan usaha (membuka toko, PKL, menjual majalah/buku, rental). Atau lebih mengoptimalkan potensi organisasi yang telah ada dan sesuai dengan tata aturan organisasi, seperti mengoptimalkan iuran anggota atau donatur. Dalam bidang ini memang tidak semudah membalikkan telapak tangan karena lebih dibutuhkan suatu usaha, kemauan dan tenaga yang prima yang didukung dengan profesionalitas kerja organisasi serta yang terpenting adalah tetap dengan tujuan untuk mendukung proses pengembangan pengkaderan organisasi, bukan untuk kepentingan pengurus organisasi atau pihak-pihak tertentu dan bukan pula mengganti azas dan karakter organisasi yang telah ada.
Apabila paradigma ini digambarkan dalam suatu diagram, maka akan terlihat sebagai berikut:
Pengkaderan sebagai basiC

Pengkaderan berpotensi

ekonomi
berbasis pengkaderan

Ekonomi
berbasis
pengkaderan
Pengkaderan sebagai basic

BAB V
MEMBACA DAN MENGELOLA POTENSI BANGUNAN EKONOMI ORGANISASI PENGKADERAN
Sebelum mengulas masalah potensi bangunan ekonomi, ada beberapa hal yang ingin penulis utarakan, yaitu:
1. Penulis merasa bahwa dalam tulisan ini dirasa masih belum layak disebut format bangunan ekonomi yang brillian, atau bisa juga tulisan yang tidak layak untuk dibuat acuan” namun hanya sebatas “iseng-iseng ide” yang disalurkan melalui tulisan ini.
2. Tulisan ini bukanlah sebuah konsep bangunan ekonomi organisasi yang bisa dibuat acuan kerja organisasi tetapi lebih mengarah pada “tawaran yang tidak perlu ditawar karena memang tidak mempunyai nilai tawar”
3. Alternative yang akan diulas lebih bersifat sporadis dan kurang sistematis. Dalam hal ini penulis tidak membrekadown secara sistematis dengan paradigma yang telah dibangun, tetapi penulis berusaha agar ulasan alternative bangunan ekonomi ini masih dalam kerangka paradigma yang dibangun, yakni tetap berdasarkan pada basic pengkaderan.
4. Penulis masih menilai terlalu terburu-buru untuk memberikan sebuah alternative bangunan ekonomi organisasi karena masih banyak komponen-komponen yang belum dikupas sebagai landasan kerja dan landasan histories agar lebih mantap dalam memahami karakter gerakan organisasi. Oleh karena itu penulis menyarankan agar para pengurus organisasi dapat mentelaah ulang, mengkaji ulang serta mengkritisi lebih lanjut tulisan ini agar dapat ditemukan suatu formula bangunan ekonomi organisasi yang lebih “mujarab” daripada yang penulis uraikan dalam tulisan ini
Apabila kita merefleksikan sejenak, sebenarnya PMII bukanlan organisasi kemarin sore atau organisasi kemahasiswaan yang kecil, tetapi PMII merupakan salah satu organisasi kemahasiswaan yang besar di Indonesia. PMII juga sudah cukup tua. Anggota PMII tidak terhitung jumlahnya dan sangat beragam jurusan pendidikan yang diambilnya. Apabila menengok pada alumni, banyak alumni PMII yang sudah menjadi pejabat penting, baik di tingkat daerah maupun nasional. Banyak pula alumni PMII yang menjadi bos sebuah perusahaan, dan banyak pula alumni PMII yang menjadi Kyai terpengaruh dan terpandang walau tidak dinafikan banyak pula alumni yang masih pengangguran.
Dari sini diketahui sebenarnya PMII mempunyai suatu potensi yang cukup besar bahkan dapat dikatakan sangat besar. Tinggal bagaimana memanfaatkan potensi yang telah ada agar bisa lebih optimal.
Di bawah ini, penulis mencoba untuk membaca dan mengumpulkan potensi-potensi tersebut untuk sedikit diulas dengan harapan agar bisa dijadikan –minimal- pengingat “file-file lama yang telah tertidur” serta sebagai alternative bangunan ekonomi yang mungkin bisa dilakukan oleh pengurus organisasi.
Optimalisasi iuran anggota/donatur/alumni
Sebenarnya PMII sudah menyadari bahwa iuran anggota/donatur/alumni merupakan satu potensi ekonomi organisasi. Bahkan di dalam AD/ART organisasi, iuran anggota/donatur/alumni sangat jelas disebutkan sebagai salah satu point dana operasional organisasi
.Namun, realitas mengatakan bahwa dana operasional organisasi pengkaderan -khususnya PMII- masih belum sepenuhnya stabil dan bersifat fluktuatif. Pada waktu tertentu bisa dikategorikan “kaya” tapi dilain waktu “konsep bantingan” kerap digunakan untuk menutupi kekurangan dana sebuah kegiatan.
Hal ini dikarenakan belum optimalnya pengelolaan dan pemanfaatan potensi ini secara maksimal. Iuran wajib anggota, walaupun sudah termaktub dalam AD/ART masih belum terlaksana, yang ada adalah iuran wajib sesama pengurus organisasi. Sehingga pendapatan yang dihasilkan masih berkategori pas-pasan. Iuran bagi para donatur ataupun alumni masih belum terorganisir dengan baik. Alumni baru bisa “berperan” atau “diperankan” apabila organisasi punya “gawe” yang cukup besar, misalnya pelatihan atau seminar. Sedangkan pada tahapan “operasional rutin” masih belum terlaksana secara professional.
Pertanyaan yang mendasar adalah, mengapa pengelolaan potensi ini (iuran anggota/donatur/alumni) masih belum terlaksana secara optimal? Apa kendala yang dihadapi oleh pengurus sebagai pengemban amanah dalam mengelola organisasi? Lalu bagaimana cara untuk mengatasinya?
Menurut penulis, ada beberapa rasionalisasi mengapa pemanfaatan potensi yang paling mendasar dan legal dalam organisasi ini belum digarap secara optimal, yaitu:
1) Perangkat data base baik kader, alumni maupun donatur yang belum bisa mensupport kebutuhan yang diperlukan, baik karena terbatas/tidak ada data atau pengelolaan data base yang belum optimal
2) Masih merasa kesulitan untuk mencari orang yang mampu dan mau menangani pengelolaan potensi ini. Karena orang yang menangani potensi ini tidak hanya diperlukan kemampuan pengelolaan administratif yang handal tetapi juga kemampuan komunikasi yang tinggi, mempunyai “wajah beton” serta kemauan tinggi yang dilandasi dengan ikhlas beramal dalam melakukan kerja.
2) Masih ada pemikiran dari pengurus bahwa menarik iuran merupakan bentuk memberikan beban bagi anggota organisasi. Masih ada rasa belas kasihan dan tidak mentolo untuk menarik iuran bagi anggota organisasi, apalagi jika anggota belum bisa diberikan hak-hak yang layak sebagai anggota organisasi.
Agar potensi ini dapat tergarap lebih optimal memang tidak mudah. Tetapi apabila ada kemauan, keberanian dan dipupuk dengan skill yang dibutuhkan, menggarap potensi ini juga tidak susah.
Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan pengurus organisasi dalam mengelola potensi ini, yakni:
1) Mencari kader yang dianggap mempunyai tingkat kemampuan yang dibutuhkan serta kemauan yang tinggi untuk mengelola potensi ini. Secara teknis, kader yang telah dipilih bisa dimasukkan ke dalam sebuah devisi dalam organisasi atau dibentuk team/badan khusus yang baru yang khusus bertugas menangani iuran anggota/donatur/ alumni ini. Membentuk devisi/team/badan yang khusus menangani potensi ini dimaksudkan agar tugas yang diemban dapat terspesifikasikan dengan jelas, sehingga tidak ada ambiguitas tugas, terdapat target yang jelas serta mempermudah dalam pengelolaan potensi ini.
2) Setelah terbentuk devisi/team/badan, langkah selanjutnya adalah memberikan bekal yang diperlukan, baik kemampuan berkomunikasi, mengelola perangkat administratif dan data base yang ada, pembagian job discription, pemberian motivasi serta memberikan perangkat kerja yang diperlukan (kendaraan transportasi jika ada, atau membuat “aturan main” antara pengurus dengan devisi ini)
3) Membentuk rumusan kerja sebagai perangkat dalam mengelola hasil yang telah didapat. Agar organisasi mempunyai nilai bergaining, baik dihadapan anggota maupun alumni/donatur, prinsip rumusan kerja bisa menggunakan “take and give”, (memberi dan menerima). Para anggota, alumni dan donatur adalah pihak yang bisa memberikan dana untuk mensupport kegiatan organisasi, maka sewajarnya apabila juga mereka juga berhak menerima sesuatu dari organisasi sebagai hak mereka. Misalnya dalam bentuk laporan pemasukan dan pengeluaran keuangan, hasil kegiatan atau informasi perkembangan organisasi yang berbentuk buletin, majalah, jurnal, VCD dokumenter kegiatan atau dalam bentuk yang lainnya.

4) Selamat bekerja…
Langkah-langkah yang ditawarkan di atas sengaja dibuat general. Untuk membuat langkah yang lebih
spesifik, rigid dan sistematis tergantung pada “medan” yang ada. Karena perangkat yang diperlukan untuk operasional kerja masing-masing cabang/komisariat juga berbeda.
Data base ekonomi Kader/Alumni/Donatur
Data base dalam suatu organisasi mutlak diperlukan. Semakin lengkap data base yang dimiliki suatu organisasi maka kerja organisasi akan semakin mudah, terarah dan hasil yang di dapat akan menjadi lebih optimal.
Salah satunya adalah data base tentang ekonomi Kader/Alumni/Donatur organisasi. Data base ini berfungsi sebagai salah alat untuk memonitor tingkat kemampuan masing-masing kader/alumni/donatur dalam bidang ekonomi, juga sebagai alat untuk mengetahui potensi yang dimilikinya sehingga optimalisasi potensi masing-masing kader/alumni/donatur dapat teraplikasikan dengan baik.
Optimalisasi pemberdayaan kader pada bidang ekonomi
Ada iktikad baik dari para punggawa organisasi dalam pemberdayaan di bidang ekonomi. Iktikad ini tidak cukup hanya mengadakan diklat kewiraswastaan atau diklat yang lain tetapi setelah pelatihan pulang membawa makalah dan piagam penghargaan untuk dipajang di dinding rumah atau dimasuikkan map yang berisi piagam-piagam yang lain tanpa melakukan kerja-kerja ekonomi secara riil, tetapi juga para punggawa ini sudah mempersiapkan basic ekonomi bagi para peserta diklat ini.
Yang dimaksud mempersiapkan basic ditingkatan ekonomi disini adalah mempersiapkan segala hal agar teori yang didapatkan di diklat dapat teroptimalkan, baik dalam bentuk kognitifnya (pemahaman teori ekonomi lebih matang) maupun di segi psikomotoriknya (langkah aplikatif).
Pada tingkatan kognitif, para punggawa organisasi idealnya terus mengawasi dan menggagas ide-ide cerdas untuk menjadi bahan diskusi (bahasa keren: follow up) dengan target dan tujuan yang jelas. Sedangkan pada psikomotoriknya, para punggawa organisasi dapat membuat “bedak kecil” sebagai bentuk usaha riil, atau mendirikan “Mall/Plaza Gerakan” kalau punya modal besar. Apabila mentok di tingkatan modal, maka para Punggawa ini bisa membuat satu terobosan dengan membuat peluang-peluang ekonomis dengan memanfaatkan jaringan yang telah dibina selama ini, baik kepada Alumni, para Usahawan, maupun ditingkatan Birokrasi
.Pemanfaatan potensi kampus, daerah dan pasar global
Kampus, merupakan tempat berkumpulnya para pemikir, orang-orang intelektual, orang-orang yang sedang menuntut ilmu, tempat “nongkrong”nya orang yang mencoba untuk selalu “maju” dan membuat suatu perubahan yang lebih baik.
Apabila dikaitkan dengan ekonomi, kampus juga merupakan satu tempat yang cukup menjanjikan untuk bisa dioptimalkan segala potensinya. Apabila jeli dalam melihat situasi dan kondisi serta kebutuhan apa yang diperlukan di lingkungan kampus tersebut, niscaya organisasi kader tidak akan pernah mengeluh tentang krisis finansial untuk membiayai kegiatan yang akan dilaksanakan.
Lalu, langkah apa yang bisa dilakukan dalam memanfaatkan segala potensi kampus agar bisa menjadi sesuatu yang produktif? Jawabnya adalah banyak jalan menuju ke Roma, banyak hal yang bisa dilakukan oleh organisasi kader (baca: PMII) sesuai dengan kemampuan dan basic skill yang dimilikinya, tinggal bagaimana kreatifitas para kader untuk meng-create¬ lingkungan kampusnya agar menjadi suatu hal yang produktif. Untuk mewujudkan hal ini tidaklah terlalu sulit. Yang penting ada kemauan dan dibumbui dengan manajemen serta sedikit warna kreatif, maka organisasi anda siap untuk “mendulang emas” di kampus tanpa perlu menjual idealitas kader dan organisasinya (untuk menjadi golongan kaum kapitalis).
Sebagai sample konkrit adalah kita bisa belajar dari warung sinau yang berada di dekat perempatan ITN Malang. Dinamakan warung sinau (menurut kabar angin) karena warung tersebut didesain untuk “nongkrong”nya para pelajar, mahasiswa dan para pemikir, walau tidak menutup kemungkinan juga ada tukang becak, semir, tukang-tukang…juga ikut “nongkrong” disana. Dengan tempat yang tidak begitu luas, namun desain ruangan diatur sedemikian rupa sehingga enak untuk dibuat ajang diskusi sambil minum kopi. Di warung tersebut juga disediakan perpustakaan mini dan bedak buku untuk dibaca ditempat, disewakan atau untuk dibeli oleh para pengunjung warung tersebut. Pada moment-moment tertentu, warung tersebut juga bisa berfungsi sebagai tempat ajang “bedah buku”. Satu bentuk konkrit yang tidak muluk-muluk namun cukup efektif bagi pengembangan ekonomi bagi organisasi kader (penulis tidak mengharuskan anda untuk membuka warung lhooo…).
Begitu juga pengembangan ekonomi di wilayah yang lebih makro, yakni bagaimana bisa memanfaatkan segala potensi daerah serta memenuhi segala kebutuhan pasar global dengan melakukan hal-hal yang produktif, semua itu bisa dan sangat mungkin sekali untuk dilakukan, dikerjakan, dan diwujudkan agar tidak menjadi mimpi-mimpi dan angan-angan yang tidak kunjung habis.

BAB VI
SAYONARA
Sebagai titik tekan dalam pembahasan ini adalah apapun usaha yang kita lakukan apabila dikelola dengan baik maka akan bisa menghasilkan sesuatu yang produktif. Namun yang lebih penting adalah, bagaimana menyikapi usaha yang produktif tersebut agar tidak menyimpang dari rel dan batasan-batasan yang telah digariskan oleh organisasi, bagaimana mengusahakan agar sesuatu yang produktif tersebut tidak menjadi bumerang idealitas organisasi kader yang berimplikasi pada robohnya citra organisisi.
Membuat badan usaha di dalam organisasi kader bukan merupakan sesutau yang haram dilakukan, namun bagaimana niat para kader ataupun para punggawanya yang mengelola badan usaha tersebut yang perlu ditata agar tidak menyimpang dari konsep awal dan cita-cita bagaimana organisasi kader tersebut dibentuk
Demikian sedikit uneg-uneg yang bisa disampaikan penulis lewat tulisan ini, semoga bisa bermanfaat bagi pengembangan organisasi kader.

KODE PPC ANDA

Digg Technorati del.icio.us Stumbleupon Reddit Blinklist Furl Spurl Yahoo Simpy

Related Posts by Categories



Widget by Hoctro | Jack Book

0 komentar

Posting Komentar

Langganan: Posting Komentar (Atom)